“ Senja yang bersamayam
di wajahmu akan tetap abadi, walau musim berganti”
Gaun merah
jambu, riasan wajah natural, bola mata
coklat. Keseluruhan itu memantul di cermin. Aihh, betapa manis gadis yang satu
ini. Siapa lagi kalau bukan aku. Ya, aku. Sekedar menghibur diri. Pagi tadi,
seharusnya aku menemui lelakiku di sebrang kota. Tadinya kita merencanakan
menenun cerita di bawah langit biru.
Karena aku tak datang, renacana berantakan. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku
diserang kesulitan bangun pagi. Duhai lelakiku, duhai sayangku, ma’afkan aku.
Hei,
lelakiku. Sekarang, sedang apa kamu? Apa sedang memikirkanku seperti aku
memikirkanmu? Apa sedang memonumenkanku, seperti aku memonumenkanmu dalam bait-bait
puisi dan lagu? Ah! andai saja rasa ini mati sedari dulu, mungkin aku tak akan
sebingung ini, mungkin aku tak akan serisau
ini, mungkin tak akan ada pertanyaan-pertanyaan yang terus saja
mengacaukan ruang pikirku. Bagaimana tidak bingung, bagaimana tidak risau, aku
menyayangimu dengan seluruh jiwa ragaku tapi aku masih belum tau bagaimana
sebenarnya perasaanmu terhadapku. Sering aku berpikir, begitu tolol dan
bodohnya aku setia menunggu lelaki yang warna rasanya masih mengabu-abu.
Mungkin karena terlalu banyak wanita dalam kehidupan lelakiku itu sehingga
membuatku kerap kali meragu juga sakit yang menusuk ulu hatiku.
Wahai
lelakiku, Tolong yakinkan aku, yakinkan posisiku: siapakah aku di matamu? Aku butuh
kalimat yang keluar langsung dari bibir manismu, seperti halnya kalimat:
aku mencintaimu, aku menyanyangimu, aku membutuhkanmu, aku tak mau
kehilanganmu. Apa itu sulit, sayangku?
Apa kamu akan setega itu membiarkanku menderita karena masih saja dengan
lugunya setia menantimu? Atau mungkin kamu memang sengaja membiarkanku terlarut dalam rasa yang
mengabu-abu, membiarkanku menderita? Apa kamu setega itu, sayangku?
“ Hei! Senja
yang bersamayam di wajahmu akan tetap abadi, walau musim berganti. “
Senja
tertidur berselimut gelap petang yang kian beranjak malam. Bila rasamu serasa
denganku, kenapa kamu tak lekas saja ikat aku lagi? Bukannya aku tak bisa melangkah walau tak
berkisah, hanya saja hati ini kerapkali tak mau diajak bersekutu, kerapkali hati
ini dibanjiri kebakaran-kebakaran kecil sampai akhirnya menjadi arang yang
membara. Panas! Sakit! Perih! Aku tak ingin kamu merasakan sakit seperti sakit
yang aku rasa, bagaimana mungkin aku membiarkanmu sakit sedang aku begitu
peduli pada seluruhmu. Aku tak bisa. Aku tak bisa membiarkanmu sakit. Sungguh!
Sebentar-sebentar, apa benar aku pernah menyakitimu? Ah, iya, sepertinya aku
juga cukup sering menyakitimu. Duhai sayangku, ma’afkan lah juga aku.
Berkali-kali
aku introfeksi diri, menapak tilas kembali perjalanan kisahku dengan lelakiku
itu. Aku menyadari: aku tak pandai memberi kehangatan, aku tak pandai memberi
kenyamanan. Aku sadari juga, aku tak pandai berinteraksi, aku tak pandai
membawa diri, aku tak pandai membuatmu tertawa, aku tak pandai membuatmu
bahagia, aku tak pandai membuatmu merasa bangga, aku tak pandai berdandan, aku
tak pandai memasak. Aku memang tak pandai dalam segala hal. Ya! Tentu saja, aku
sadari itu. Aku coba tau diri akan semua kekuranganku itu. Kalau itu yang
menjadi alasan kenapa kamu belum bisa menerimaku menjadi satu-satunya wanitamu,
baiklah, aku terima. Tapi tolong, aku mohon, jangan melulu memberiku
kehangatan, jangan melulu meberiku sentuhan manja, kalau kamu tak bisa
menjadikanku satu-satunya wanitamu. Dan selepasnya, aku akan mencoba menjalani
hari-hariku tanpa lagi kehadiranmu. Apa tidak Berat? Tentu saja berat. Apa
tidak sakit? Jelas, sakit! Tapi, bukankahkan hidup itu memang kadang-kadang tak
adil? Hidup itu memang selalu dihadapakan pada sebuah pilihan?
“ Senja yang bersamayam
di wajahmu akan tetap abadi, walau musim berganti”
# Jogja, diawal
bulan ramadhan yang bertengger di tahun ganjil.
Rss
Google+
Facebook
Twitter