"… Menepi di pelataran dan terdiam,
semesta menertawakan. Kau dan aku dalam senyap, kau dan aku saling merindu,
namun terpisahkan keadaan. Kita hanya dua manusia berharap bersama meski tak
mungkin. Rindu ini meradang, tak berarah, dan tak hilang, kemana harus
melangkah? sementara kita tak berkisah. "
Pukul 1 dini hari. Ahh! Malam terasa begitu panjang.
Dan ini kali kesekian aku tak mendapati tidur nyenyak dan nyaman. Lagi-lagi,
mungkin aku akan terjaga sampai fajar perlahan-lahan datang. Sebenarnya, aku
sudah mencoba berkali-kali menutup mata dan membayangkan hal-hal indah,
berharap peri mimpi lekas mengajakku tamasya lalu aku lupa segalanya, dan aku
akan kembali merasakan apa itu yang biasa disebut tidur lelap. Tapi, itu tak
selalu berhasil. Entah ini sudah kali ke
berapa, yang pasti sudah ratusan malam, bahkan mungkin ribuan malam, aku lewati
dengan Kerinduan, ketakutan serta
kegelisahan dalam tubuh lesu juga bisu. Bukan
hanya itu, dan ini yang serasa paling menguras tenaga dan tentu saja menyiksa:
ketika sebentuk wajah tak henti-hentinya melintasi ruang pikiranku. Sebentuk wajah yang tak
asing, sebentuk wajah yang begitu hangat, sebentuk wajah yang puitis.
Keseluruhan itu benar-benar membuatku lumpuh. Membuat dadaku serasa tercekik.
Benar saja! Ini memang menguras tenaga dan sangat menyiksa. Bagaimana mungkin
aku biasa saja, sedang sebentuk wajah itu masih saja menjadi pelangi dalam
ruang hidupku yang usang. Bagaimana mungkin aku bersikap biasa, sedang rasa
dihati masih saja bergrjolak dan itu semakin parah.
Untuk wajah yang tak pernah padam
walau matahari tenggelam, walau malam enyah dimakan fajar. Jawab aku! Di hatimu, adakah ruang untukku? Di hatimu,
adakah rasa yang memang tersurat untukku? Di hatimu, adakah namaku? Adakah aku
dan seluruhku dalam pikiranmu? Aku hanya ingin memastikan, apakah kita memiliki
rasa yang sama ataukah tidak? Ini yang ingin aku tau sedari dulu, sejak kita
disatukan di Pulau Biru. Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku mohon, jawab
aku! Kalau kamu memang tau betapa aku begitu menyayangimu, seharusnya kamu tak
menyakiti aku dengan memberi harapan semu, seharusnya kamu tidak menyakiti aku dengan melulu memberi kehangatan padaku
sewaktu bertemu. Karena aku sayang, karena aku peduli, aku tak sampai hati
kalau harus menjauhimu walau kamu mungkin tak sadar telah menyakiti perasaanku.
Kamu tau dimana letak kesalahanmu? Kamu tau, bagaimana bisa kamu yang selalu
mampu menghangatkanku sewaktu bertemu justru yang paling mampu meyakiti
perasaanku? Seharusnya kamu tau, tapi bila kamu belum tau, ajaklah aku lagi
tamasya ke Pulau Biru, maka aku akan memberi tau di mana letak kesalahanmu itu.
Dengar! Aku kasih saran, ya: jangan suka menduga-duga, jangan suka
menerka-nerka, karena itu hanya akan menimbulkan kesalahpahaman yang berakibat
ketidaknyamanan. Bukankah hal seperti itu tidak mengenakan dan tidak
menyehatkan? Bertanya saja, aku pastikan akan menjawab semua apapun yang kamu
tanyakan ataupun kamu risaukan. Lihatlah aku, begitu banyak pertanyaan bukan?
Sampai-sampai aku pun pening sendiri dibuatnya. Yaa, tentu saja, karena aku tak
ingin sekedar menduga-duga ataupu menerka-nerka saja. Hei, aku sedang tidak
memancing emosimu, aku hanya sedang mengeluarkan gundukan-gundukan yang
menyesakan dadaku karena mencintaimu, aku hanya sedang mencoba meredam
ledakan-ledakan kecil dikepalaku karena memikirkanmu. Ini tidak mengganggumu
bukan? Aku minta ma’af kalau ini benar mengganggumu. Baiklah, initinya begini,
dengar:
“Bila rasaku ini rasamu, lekaslah
ikat hatiku, ikat kenakalanku, ikat seluruhku! Jadikan aku wanitamu. Bila
tidak, jadilah kawan baikku tanpa harus ada kehangatan ataupun sentuhan
manjamu. Hanya itu inginku, tidak terlalu sulit bukan?”
***
Sudah pukul 2 dini hari. Malam
semakin dingin. Angin mendesah, menjalarkan kekhawatiran-kekhawatiran yang mulai
menyampuli malam-malam panjangku. Fix, sudah! Kerinduan, ketakutan, keresahan
juga kekhawatiran, bersekutu mengacaukanku. Lagi. Lagi. Dan, lagi. Oh Tuhan,
apakah ini kutukan? Sungguh, sebenarnya aku jenuh sekali untuk pertanyaanku
yang satu ini. Ah! Rasa-rasanya aku ingin sekali membenturkan kepalaku. Yaa,
kenapa aku tidak membenturkan kepalaku? Ide bagus.
Untuk wajah yang tak pernah padam
walau matahari tenggelam, walau malam enyah dimakan fajar. Aku ingin mengajakmu
kembali menapak tilas sejarah yang sudah kita ukir dibalik tembok-tembok,
pohon-pohon, sungai-sungai, jalanan, lautan, yang kesemuanya itu bisu. Apa
kamu mau menerima ajakanku? Sebentar-sebentar, sebelum kamu jawab, aku akan
memberi taumu tentang sebuah rahasia yang mungkin sebenarnya sudah tidak asing
lagi, yang mungkin sebenarnya memang bukan menjadi suatu rahasia lagi. Dengar
baik-baik, ya..
“Sampai sa’at ini, aku masih sendiri.
Kamu percaya, kan? Ya, kamu harus percaya! Karena memang seperti itu realitanya.
Selapas kita memutuskan tak lagi ada ikatan, sejak itu pula aku tak bergairah
mempunyai ikatan dengan lelaki lain. Aku tak bisa benar-benar melepasmu, apa
kamu juga demikian? Alasanku jelas, rasaku masih utuh terhadapmu. Pernah aku
mencoba membuka hati untuk lelaki lain, tapi tetap saja, kamu masih yang teristimewa. Aku tak benar-benar
bisa mencintai orang lain seperti aku mencintaimu. Aku bingung apa yang harus
aku lakukan. Disati sisi aku ingin lepas dan membiarkanmu bebas tanpa lagi di hantu-hantui
kehadiranku. Sungguh, sebenarnya aku hanya merasa takut, takut kalau-kalau rasaku ini hanya akan membebanimu ataupun
mengusik ketenanganmu. Karena aku tak benar-benar tau bagaimana perasaanmu
terhadapku, aku tak yakin kalau kamu memiliki rasa seperti apa yang aku
rasa. Di sisi lain, aku tak benar-benar
bisa kehilanganmu, aku merasa nyaman berada didekatmu, aku suka caramu berinteraksi
denganku. Ah! Sial. Kenapa aku jadi begitu membingunkan? Aku harap, kamu memang
malaikat yang diutus Tuhan untuk terus memberi pelangi dalam hidupku. Bukan untuk memberi harapan
semu ataupun memanfa’atkan rasaku yang memang sudah terlalnjur tertuju padamu.”
Sepertiga malam yang mistis,
sepertiga malam yang dingin, sepertiga malam yang sunyi, sepertiga malam yang
kacau. Sudah pukul 3 pagi. Aku masih
terjaga, di sini, dengan sampah-sampah berserakan dan dengan lilin-lilin kecil
yang sinar sepianya mempuitiskan seluruh ruangan. Dijam-jam segini biasanya aku
sudah bisa mendengar kumandang adzan, kata kakakku, itu adzan untuk
membangunkan orang-orang yang ingin menjalankan ibadah solat sunah tahajud ataupun
solat-solat sunah lainnya. Bicara soal solat sunah tahajud, sudah lama sekali
aku tak menjalankan ibadah solat sunah tersebut. Entahlah, akhir-akhir ini aku
merasa jadi begitu jauh dengan Rabb-ku. Aku benar-benar manusia penuh dosa. Ah!
Bicara soal dosa, rasa-rasanya aku jadi takut menutup mata dan ketika terbangun
aku sudah mendapati diriku tak lagi bernyawa, lalu amal ibadah yang mana yang
dapat membantuku untuk bisa terlepas dari jerat api neraka? Ya Tuhan, bila Membayangkan hal tersebut aku benar-benar
merasa ketakutan. Badanku benar-benar gemetaran. Disa’at-sa’at seperti ini,
yang mampu menolongku hanyalah kalimat
istighfar, kemudian mencoba membayangkan hal-hal indah. Sebaiknya aku tak
coba-coba membayangkan hal ini. Badanku sudah gemetaran. Sebaiknya aku kembali
ke sebentuk wajah tadi, sebentuk wajah yang sudah ribuan hari tak mati-mati
dalam ruang pikiranku.
Untuk wajah yang tak pernah padam
walau matahari tenggelam, walau malam enyah dimakan fajar. Apa aku terlalu banya
bicara? Apa seharusnya aku diam dan memendam semua? Apa menurutmu ini tak baik?
Coba katakan, aku harus bagaimana? Apa kamu bingung seperti halnya aku bingung
karena ini? Jadi, kita sama-sama bingung? Ini menyebalkan, ya? Ini memang
menyebalkan. Hei, bagaimana kalau kita saling mengikat lagi saja? Ah! iya,
sepertinya aku terlalu banyak bicara.
# Jogja, dibulan ke tujuh. Ketika
sebentuk wajah hadir menyapu kedamaian malam dengan lagu-lagu sendu mendayu.
Rss
Google+
Facebook
Twitter