Senja di taman kecil
belakang gedung tua. Pohon-pohon ungu berjejer memanjang laksana pagar kokoh. Dedaunan kering gugur, berserakan di
tanah bisu. Lapangan basket mati. Sunyi. Sepi. Aku yang tak pernah pulang sekolah sebelum senja mati kerapkali mengunjungi taman kecil ini. Taman yang
sejuk dan menenangkan. Walau sepi, di tempat ini aku tak sendiri, ada dia
disana, dengan jarak yang dia sendiri
serasa tak mampu menjangkau keberadaanku. Dia, lelaki yang sudah aku kenal
cukup lama. Dia duduk seorang diri, di bawah rerimbunan pohon ungu, dengan
wajah mengahadap ke bumi. Angin menderu lirih, menyisir rambut pendeknya. Dia,
lelaki yang sedari dulu aku amati secara diam-diam. Dia lelaki yang aku kagumi,
walau dia, mungkin: tak selalu memperhatikanku, tak selalu menghiraukanku, tak
selalu pedulikanku. Walau begitu, dia akan tetap menjadi puisi yang yang selalu
aku kagumi sampai waktu tak lagi mamapu merangkak menemui pagi.
Senja menua, pohon-pohon
ungu memudar. Dia masih ada disana, duduk seorang diri dengan wajah yang masih
menghadapa ke bumi. Beberapa kali dia melihat layar hp, mungkin dia sedang
menunggu sebuah pesan singkat dari seseorang atau, ah, aku tak mau menduga-duga
lebih dalam lagi. Disini, aku yang memang mengaguminya, jujur, begitu khawatir
akan kadaannya. Hampir setiap senja tiba, aku pasti akan mendapatinya di taman
kecil belakang gedung tua ini, duduk seorang
diri sampai senja mati. Dia yang beberapa waktu ini seperti itu
membuatku khawatir, khawatir kalau-kalau dia akan terbunuh oleh sesuatu yang
ada dalam pikirannya. Yaa, aku yakin,
ada sesuatu yang dipikirkannya. Hanya saja aku tak punya cukup keberanian bila
harus menanyainya secara mata bertemu mata. Sampai pada senja yang entah
keberapa, aku masih saja mendapatinya disana, di taman kecil belakang gedung
tua. Entah semacam ada tarikan gaib yang menggerakan kakiku menuju ke arahnya. Dia menoleh ke arahku. Aku
deg-degan. Dengan tubuh yang hampir jatuh, aku beranikan diri menyapanya.
“ Hei, Kamu ngapain disini?”
“ lagi nunggu pelangi “
“ Kan gak ada ujan”
“ Kali aja ada
keajaiban”
“ Healah..”
“ Lha, kamu sendiri ngapain?
”
“ Meditasi. Tempat
macam kaya begini kan enak buat meditasi”
“Haha. Sinilah duduk,
kasian itu kaki”
Aku duduk disampingnya.
Aku mencoba mengatur detak jantungku yang memang sudah tak karuan. Kita diam.
Aihh, deru angin yang lirih seolah-olah menjadi becksong paling syahdu
diantara becksong-becksong yang
pernah aku dengar sebelum-sebelumnya. Kita bertemu pandang. Ya Tuhan, matanya,
matanya bening luar biasa. Rasa-rasanya tubuh ini bagai diterbangkan ke
angkasa. Aku seolah-olah dibawa ke dunia fantasi yang keindahannya mungkin
hampir sejajar dengan keindahan surga. Untungnya aku cepat tersadar saat dia
berbicara.
“ Aku pingin mati, Ta”
“Hah? pingin mati?”
“Iya. Saenggaknya
dengan mati aku gak perlu lagi musingin masalah-masalah didunia. ”
“ Ngaco! kamu gak
mikirin setelah mati kaya gimana apa?”
“ Masalah kaya begitu
biar jadi urusanku sama Tuhan, Ta. Yang penting aku bisa lepas dari
masalah-masalah didunia
“ Kamu lagi ada masalah
pasti ne, ya?”
“ Bukannya manusia itu
emang gak pernah lepas dari masalah, Ta?”
“ Iya, bener seh.
Ceritalah sini cerita..”
“ Besok deh ya kalo aku
udah punya duit. Sekarang aku lagi bokek. Haha”
“Yaelah.. Apa
hubungannya, Di?”
“ Kali aja kamu butuh
bayaran, Ta. hahaha”
“Idih.. enggalah.
Ngaco!”
Senja yang merangkak
gelap menjadikan obrolan kita berantakan. Aku pulang, dia pulang. Kita saling
melambaikan tangan dan menebar senyuman. Bagiku, waktu seolah-olah terasa
membahagiakan. Bahagia yang hambar. Entah, apakah aku harus bahagia atau apa.
Aku bahagia bisa bercakap-cakap dengannya, walau hanya sekejap. Tapi, disini,
di hati, serasa ada was-was, serasa ada resah yang terselip lalu menempel di
dinding hati. Perasaan semacam apa ini?
Bersambung
Jogja, 2 Mei 2013
Rss
Google+
Facebook
Twitter