Pagi yang biru di
sebuah bus kota. Bus jalur 2, namanya. Aku duduk di bangku urutan nomer ketiga
sayap kanan. Sedang kamu duduk di bangku
urutan kedua sanyap kiri. Penumpang (masih) sepi, secara kebetulan. Kernek bus
terus saja berkoar-koar mencari penumpang. Aku cekikikan, dalam hati. Kamu
mulai membuka perbincangan. Aku tersenyum cerah. Kita berdua berbincang
kemana-mana. Jujur saja, aku suka sekali sikap kamu ketika berbicara. Penuh
semangat dan menghangatkan. Ngomong-ngomong, darimana kamu belajar bicara
seperti itu? Tolong ajari aku, sebab aku begitu payah dalam berbicara. Apalagi
bicara dengan seorang pria.
Penumpang (masih) sepi,
kernek bus masih setia berkoar-koar. Langit juga masih biru. Entah kenapa,
tetiba aku ingin loncat-loncat, tetiba aku ingin bernyanyi, tetiba aku ingin
menari. Tetiba aku merasa amat bahagia. Dan, kamulah penyebabnya.
***
Pause..
Aku Delila, aku duduk
di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Aku bertempat tinggal di kawasan
Pantura, tepatnya di dusun Rumpun Kelapa. Selepas aku lulus SMP, Om Imam
mengajakku hijrah ke Jogja untuk melanjutkan sekolah di sana. Om Imam adalah
adik kandung ayah satu-satunya, dia seseorang yang paling dekat denganku
setelah ayah dan ibu. Om Imam begitu baik dan perhatian padaku. Aku sayang
sekali pada om Imam. Sikap om Imam tidak begitu jauh dengan Ayah. Wajar saja,
meraka berdua memang bersodara. Kelak, bila aku bersuami, aku berdoa suamiku
dapat sebaik ayah atau om Imam. Mereka berdua adalah laki-laki kebanggaanku.
Aku sedih saat om Imam
menyampaikan ingin melanjutkan studi S1-nya di Jogja. Tidak ada lagi yang
menghadiahi aku es krim setiap senja tiba, tidak ada lagi yang menemaniku
mengakrabi malam dan menyantap semangkuk mie ayam di pinggir jalan, itu
pikirku. Bagaimana dengan Ayah atau Ibu? Ayah sibuk mengisi ceramah di
masjid-masjid, ibu sibuk mengajari anak-anak kecil dusun Rumpun Kelapa mengaji.
Aku jarang sekali bermain di luar dengan selain dengan om Imam, aku tidak punya
teman selain om Imam. “Kamu adalah gadis nakal penyendiri”, begitu kata
om Imam. Saat aku sendiri dan butuh teman, Om Imam selalu datang dan mengajakku
bermain. Ayah dan Ibu tidak pernah melarang, mereka percaya
sepenuhnya bahwa om Imam mengajakku bermain bukan hanya sekedar bermain, tapi
juga untuk menambah wawasan. Ayah dan ibu benar, bersama Om Imam aku semacam membaca wikipedia,
dari dia aku jadi tau banyak hal, om
Imam juga mengajariku agar lebih peka
terhadap alam sekitar. Biarpun masih muda, om Imam sudah seperti orang tua:
jalan pikirannya.
Aku sedih dan murung,
sampai akhirnya om Imam berinisiatif untuk membawaku ke Joga untuk melanjutkan
studiku bersamanya. Aku tersenyum. Awalnya Ayah dan Ibuku tidak terlalu
menyutujui, sebab aku adalah anak semata wayang mereka. Mereka ingin aku tetap
tinggal. Aku Cuma bisa diam. Aku tidak terlalu mempermasalahkan, sekolah dimana
saja menurutku sama saja, yang penting bahagia, itu saja. Om Imam meyakinkan kesuksesanku pada ayah dan
ibu bila aku melanjutkan studiku di Jogja, om Imam juga memastikan keamananku
bila aku diijinkan bersekolah di Jogja. Selepas melalui perdebatan ringan yang
panjang, Akhirnya Ayah dan ibuku menyetujui. Mengingat di Jogja masih ada
sodara yang barangkali rumahnya masih ada ruang untuk kita berdua singgahi. Aku
berterimakasih, dan mengecup tangan kedua orang tuaku. Memang sudah sedari
lama, Jogja adalah kota yang selalu
ingin aku tinggali. Aku girang. Tapi,
juga sedih. Bagaimana tidak sedih, aku akan meninggalkan Kedua orang tuaku juga
Rumpun Kelapa. Tiap libur tiba, aku pasti pulang, tenang saja.
Aku dan om Imam
sudah sampai di Jogja. Kita tinggal di rumah pakde Burhan. Beliau adalah adik
bungsunya kakek(ayah dari ibu). Ayah dan ibu tidak mengantarku ke Jogja, sebab
di rumah sedang ada pengajian. Sedangkan aku harus segera berangkat, karena
pendaftaran masuk sekolah menengah pertama yang menjadi pilihanku akan ditutup
lusa. Aku mendaftar masuk sekolah menengah pertama. Om Imam mendaftar masuk
perguruan tinggi. Berkat Sihir doa dan usaha keras, aku diterima di sekolah
impianku. Dan, om imam diterima di perguruan tinggi impiannya.
***
Kamis malam dan langit
sedikit mendung. Pakde Burhan mengajak om Imam dan aku bertemu pak Hilmi. Pak
Hilmi adalah seorang guru ngaji. “Sudah di Jogja, ngaji jangan sampai lupa”,
celetuk pakde Burhan dengan nada renyah. Aku dan om Imam cekikikan. Selepas mengaji,
kita pulang. Om Imam bercerita bahwa dia tertarik dengan satu gadis yang ada di
tempat tersebut, yang kebetulan gadis tersebut adalah anak dari pak Hilmi. Aku menyemangati om Imam untuk memperjuangkan
anak gadis pak Hilmi itu. Aku jelas orang pertama yang mengatakan “iya” untuk
keterikatan mereka berdua. Anak gadis pak Hilmi dan om Imam itu seperti bintang
dan bulan, berbeda tapi tetap saling bersinar dan saling mengindahkan.
Om Imam demam karena
belum bisa beradaptasi dengan cuaca Jogja yang waktu-waktu ini sangat buruk.
Biasanya aku ke berangkat sekolah bareng om Imam naik bus jalur 2. Lagi-lagi,
karena kebetulan sekolahku dan kampus om Imam memang searah. Karena om Imam
sakit, aku berangkat sendiri, aku tidak apa-apa, ini (tetap) membahagiakan.
Aku duduk di bangku
nomer tiga sayap kiri, dan disebelahku duduk seorang laki-laki berseragam sama
sepertiku: putih abu-abu. Aku melemparkan pandanganku ke jendela, sekedar
mencuri secuil angin. Nampaknya lelaki disebelahku ini sedang membaca buku,
entah buku apa. “Apa enaknya membaca buku di bus? Bising iya”, pikirku.
“Suka baca?” Tanya
lelaki di sebelahku yang juga berseragam putih abu-abu. Aku sedikit heran dan
kikuk.
“Lumayan”. Jawabku
dengan senyum ringan.
“Pernah baca buku
Pramudya Ananta Toer?” Kembali dia bertanya, yang selalu diikuti senyum yang
serupa gula jawa.
“Belum. Aku tidak
terlalu suka bacaan-bacaan berat. Kata temenku yang juga gemar membaca,
Buku-buku Pramudya Ananta Toer itu masuk dalam kategori bacaan-bacaan berat,
otakku terlalu santai kalau harus disuruh baca buku-buku berat kaya begitu.
Hehe” Jawabku lagi. Dan, keadaan sedikit menghangat.
“Haha, kamu lucu. Aku
Arofat. Kamu?”
“Aku Delila”
Dan, sejak perkenalan
hari itu, dan bila waktu memberi sedikit celah pada kita untuk bertemu di bus
jalur 2, maka perbincangan-perbincangan sederhana namun menghangatkan tidak pernah terlewatkan. Aku suka cara cara
dia berbicara, dia tidak pernah tidak menatap mata lawan bicaranya ketika
berbicara. Dan, aku selalu suka pada seseorang ketika sedang berbicara menatap
mata lawan bicaranya. Menurukku, itu adalah keramahan dalam sebuah
perbincangan-perbincangan.
Sejak jadwal kuliah om
Imam tidak beraturan, sejak itu pula aku sendiri saja menaiki bus jalur dua,
tidak ada kawan bicara. Tapi aku tidak apa-apa. Ini (tetep) menyenangkan. Toh
barangkali Tuhan sedang membuat surprise menakjubkan, dengan mengahdirkan
Arofat dan setangkai mawar putihnya, lalu duduk di sebelahku, membincangkan
tentang hal apapun yang mencerahkan
***
Play...
Begitulah awal mula aku
mengenal Arofat. Mengenalmu. Menyukaimu. Berawal dari bus jalur 2, buku, Pramudaya Ananta
Toer, sampai akhirnya kita berkenalan. Sampai akhirnya aku menyukaimu lewat
bola matamu yang hitam dan meneduhkan.
Pagi yang biru dan di
bus jalur 2. Aku duduk di bangku urutan nomer ketiga sayap kanan. Sedang kamu duduk di bangku urutan kedua sanyap
kiri. Penumpang (masih) sepi, secara kebetulan. Kernek bus terus saja
berkoar-koar mencari penumpang. Aku cekikikan, dalam hati. Kamu mulai membuka
perbincangan. Aku tersenyum cerah. Kita berdua berbincang kemana-mana. Jujur
saja, aku suka sekali sikap kamu ketika berbicara. Penuh semangat dan
menghangatkan. Ngomong-ngomong, darimana kamu belajar bicara seperti itu?
Tolong ajari aku, sebab aku begitu payah dalam berbicara. Apalagi bicara dengan
seorang pria.
Penumpang (masih) sepi,
kernek bus masih setia berkoar-koar. Langit juga masih biru. Entah kenapa,
tetiba aku ingin loncat-loncat, tetiba aku ingin bernyanyi, tetiba aku ingin
menari. Tetiba aku merasa amat bahagia. Dan, kamulah penyebabnya.
Rss
Google+
Facebook
Twitter