“Beberapa orang berjumpa dalam keadaan yang salah, bertemu hanya untuk
terpisah"
Pagi yang kusut. Aku tertatih
melangkah yang beralaskan rerumputan hijau, selepas peristiwa aku dan kamu
tidak lagi menjadi kita. Tak berarah juga penuh sendu. Sampai disebuah
perisimpangan jalan, pada bangku pajang yang murung, kutemukan dia, seorang lelaki
berkaos coklat. Dia kacau, terlihatnya. Dari jarak yang masih dapat dijangkau
pandangan, kuperhatikan, berkali-kali asap cigarette terhempas keluar dari
mulutnya. Aku melangkah lirih ke arahnya. Kutempatkan diriku acuh disebelahnya,
yang sebelumnya sudah aku pastikan masih ada sisa ruang kosong disebelahnya
untuk aku duduki, mengistirahatkan diri.
Pagi kusut juga mengabu.
Barangkali akan turun hujan, pikirku. “Pagi ini terasa dingin sekali”. Gumamku
lirih. Aku keluarkan buku dari tasku sekedar membius diri dari sakitnya patah
hati. Kubaca isi di dalamnya lembar demi lembar. Aku mulai terganggu dan
menghentikan bacaanku, sesaat selepas aku mendengar lelaki disebelahku
berbincang-bincang melalui ponsel angkuhnya dengan nada kesal dan penuh
penekanan. Aku benci kegaduhan saat aku sedang membaca. Aku tidak suka
kegaduhan saat hatiku sedang pecah. Dan, lelaki disebelahku sukses membuatku
ingin beranjak pergi, mencari kedamaian di tempat lain. Aku menghela nafas.
Kuteguk air mineral yang sengaja aku bawa dari rumah. Sampai akhirnya, tanpa perlu
aku meledak-ledak padanya, dia sudah menghentikan perbincangan pedasnya. Aku
tersenyum lega. Aku kembali membaca.
Membaca diwaktu pagi adalah
kedamaian tak terbantahkan, andai saja hatiku tidak (sedang) pecah. Ah,
memuakan! Aku kembali terganggu, berkali-kali ponsel lelaki disebelahku
berbunyi, namun berkali juga lelaki disebelahku mematikannya. Darahku mulai
mendidih, hanya saja aku(sedang) malas meledak-meledak, aku lanjut membaca
saja.
“Baca apa, mbak?” Tanya lelaki
disebelahku. Aku memperlihatkan sampul buku yang aku baca ke arahnya sedikit
acuh.
“Ohh, Fahd Jibran. Aku suka Fahd Jibran,
karya-karyanya mengagumkan.” Ucapnya lagi. Aku tersenyum dan kembali membaca.
Jujur saja, aku tidak suka
perbincangan saat aku sedang membaca, apalagi dengan lelaki yang belum aku
kenal sama sekali. Tetiba, ponsel lelaki disebelahku kembali bordering, kali
ini diangkat olehnya.
“Putus?”
Bukan maksudku untuk menguping,
hanya saja untuk kata yang satu ini, tidak ada alasan untuk tidak terdengar, suara
lelaki disebelahku amat keras. Aku sempat terlonjak kaget. Kemudian, percakapan
berhenti. Lirih terdengar lelaki disebelahku menghela nafas. Lalu, menyandarkan
diri ke sandaran si bangku. Pagi mengabu senyap.
“Perempuan itu susah sekali
dimengerti. Sialan, sialan!” Gumamnya. Aku mengernyitkan alis mataku. Sesaat
kemudian, kembali menghela nafas, dan menutup buku bacaanku. Lagi, aku meneguk
air mineral. Dia, lelaki disebelahku menyulut (lagi) cigarette yang tersimpan
di saku celananya. Sebenarnya, aku tidak begitu menyukai asap cigaret. Tapi,
sudahlah, aku acuh saja. Baginya, barangkali rokok sedikit bisa menjadi bius
untuk mematikan kekacauan yang sedang memporak-porandakan seluruhnya.
Ah, sudahlah, aku tidak perlu sok tahu seperti ini.
Pagi kusut menua. Siang merangkak
naik, dan masih mengabu. Aku mengikuti jejak lelaki disebalahku untuk
menyandarkan punggungku yang lelah ke sandaran bangku yang kami berdua duduki. Ponselku
bedering dan terus berdering, tertera nama yang sudah ingin aku enyahkan ke
jurang paling dalam, ke sudut paling jauh. Aku berharap, tak ada kesakitan yang
lagi engkau hadiahkan padaku: Oh, mantan kekasih. Kau berdansa di atas sakitku.
Ah, semoga Tuhan memberkatimu.
“Diangkat aja, mbak..” Ucap
lelaki disebelahku. Aku mendengus kesal. Bukan pada lelaki disebelahku,
melainkan pada mantan kekasihku itu yang masih saja menggangguku selepas pengkhiantan
menyakitkan itu. Aku sudah muak padanya, benar-benar!
Ponselku masih saja bordering,
masih belum bosan untuk berhenti.
“Ada apa lagi sih?! Mau ngapain
lagi?!”
“Aku minta maaf. Aku gak maksud
ngeduain kamu, aku cuma susah ngejalanin hubungan jarak jauh. Aku gak mau putus
dari kamu. Aku masih sangat cinta kamu. Aku gak mau kehilangan kamu.”
Mendengar ucapannya itu hatiku
terasa semakin remuk. Lekas kumatikan ponselku. Kesakitan yang aku rasakan,
membuat tingkat kepedulianku mati (padamu). Tanpa permisi, air mataku sudah
menitik di pipi. Aku sesenggukan.
“Hei, mbak, kamu kenapa? Kamu
kenapa? Kamu baik-baik aja, kan? Mbak, kenapa nangis?”
Segerombolan pertanyaan keluar
dari mulut lelaki disebelahku, ada nada kekhawatiran di tiap pertanyaannya.
“Kamu tak perlu seperhatian ini
padaku. Perbaiki dulu saja kekacauan yang sedang meremuakanmu.” Bisikku dalam
hati.
“Mbak? Mbak, tidak apa-apa kan?”
Lelaki disebelahku kembali bertanya penuh khawatir.
“Aku tidak apa-apa, mas. Jawabku
sembari membersihkan air mata yang menderas memenuhi pipi. Aku mengatur
nafasku.
“Yakin tidak apa-apa?” Tanyanya
lagi memastikan.
“Iya, mas. Aku baik-baik saja.” Jawabku
lagi dengan sedikit melempar senyum padanya.
Tepat pukul 11.11 WIB. Kita
saling mengenalkan diri. Kita mulai melakukan perbincangan-perbincangan
sederhana. Aku merasa damai selepas lelaki disebalahku memberi sedikit hiburan.
Susana (mulai) cair. Waktu sedikit terasa menyenangkan (lagi). Sampai akhirnya,
lelaki yang aku temui di persimpangan jalan, yang kini di sebelahku, pamit pergi,
entah untuk urusan apa, aku rasa aku tak perlu juga mengetahuinya. Dan, aku
memilih tinggal untuk merumahkan perbincangan-perbincangan sederhana kita.
“Duhai engkau, seorang lelaki di persimpangan
jalan. Terimakasih, adamu di sebelahku dalam hitungan jam cukup berhasil
menggerus kepedihanku. Duhai engkau, seorang lelaki di persimpangan jalan.
Terimakasih atas semangkuk tawa yang engkau ciptakan. Selamat bertemu di lain
waktu. Duh, waktu. Beberapa orang berjumpa dalam keadaan yang salah, bertemu
hanya untuk terpisah"
“Beberapa orang berjumpa dalam keadaan yang salah, bertemu hanya untuk
terpisah"
Jogja, 26 Maret 2014
Rss
Google+
Facebook
Twitter