Ledakan-ledakan kegelisahan
kemabli datang. Sering, bahkan. Beberapa waktu ini, entah aku yang kurang
bersyukur memilikinya atau aku yang belum ikhlas untuk menerima
kenangan-kenangan dia bersama masa lalunya. Entah. Barangkali benar, aku hanya
sedang menyiksa diriku sendiri. Sedang waktu, terus saja merengkak ke depan,
membuat beban pikirku semakin memberat.
“Rindu ini meradang, tak berarah
dan tak hilang. Kemana harus melangkah? Sementara selalu keadaan yang menjadi alasan kenapa kita
berjarak dalam beberapa kesempatan ”
***
Senja masih muda saat aku duduk
sendiri dibelakang gedung tua. Di depanku, terhampar luas lapangan sepak bola,
dengan rerumputan hijau dan pepohonan sombong yang mengitarinya. Senja
menguning senyap. Sepoi angin menampar pelan. Aku suka menghabiskan hari
sabtuku ditempat ini, sendiri saja, khususnya diwaktu senja seperti sekarang
ini. Tidak ada yang bermain sepak bola: sepi. Tempat ini (menjadi) terasa
begitu khidmat dan syahdu. Senja menguning senyap yang syahdu. Aku suka suasana
seperti ini. Suka sekali. Seperti senja
di sini, di tempat ini.
“Kamu jangan marah-marah terus.
Aku capek.”
“Maaf..”
“Udah, jangan nangis. Males aku
ngeliatnya.”
“Aku gak nangis. Aku lagi nyoba
belajar lebih tegar dari biasanya.”
“Baguslah, memang harus seperti
itu.”
Perbincangan-perbincangan kecil
macam itu kerap kali berbisik-bisik dalam pikiranku. Bukan hanya itu, sikap-sikapmu
yang kerap kali juga membuat dadaku meledak-ledak pun tak jarang
menggebuk-gebuk pikiranku dan hatiku. Dengan sisa-sisa kesabaran yang masih
ada, aku selalu berusaha redam emosiku, walau lebih sering tak berhasil, aku
tak pernah bosan berusaha. Pernah aku berpikir, bertahan disisimu seolah-olah
hanya tekanan yang aku dapatkan. Ah, semoga ini hanya perasaanku saja. Maaf
jika aku sempat berpikir demikian. Aku
terlalu sensitive, memang. Ah, sudahlah..
Senja mulai menua. Sepoi angin
masih dengan sejuknya menampar-nampar pelan. Aku masih ingat betul, beberapa
waktu lalu kamu berjanji akan melakukan apapun yang terbaik buat aku. Aku
bertanya-tanya: Kebaikan seperti apa yang kamu maksud? Coba katakan! Apa dengan
cara membully aku terus-menerus? Benar begitu? Apa dengan cara mencandaiku
dengan tuduhan-tudahan pedasmu? Atau, dengan cara membuatku merasa seolah-olah
aku ada hanya untuk disalahkan? Ahh, atau dengan cara membagi rasa dengan beberapa wanita? Membuatku merasa tersisih? Apa benar begitu? Coba katakan! Ah, entah, aku
tak mengerti hal terbaik apa yang kamu maksudkan itu. Andai kata aku jahat
dalam mengambil kesimpulan, aku minta maaf. Bantu aku membenarkannya, aku tau
kamu pasti malas melakukannya. Tapi, aku percaya kamu bijaksana.
Adamu tak melulu tentang tekanan,
memang. Aku akui, kamu sabar (dalam beberapa hal), tanganmu selalu siap 24 jam
untuk merengkuh tanganku saat aku merasa sepi dan sendirian, kamu sangat
menyenangkan (dalam beberapa hal). Kamu juga lebih bijaksana dari biasanya,
terkadang. Ada kebaikan-kebaikan yang membuat hatimu mulai nampak mengemas.
Hanya saja, kenapa aku sering merasa hidup
di sisimu terasa dipenuhi tekanan? Apa kesensitifanku yang terlalu berlebihan?
Atau, karena aku kurang ikhlas dan bersyukur? Duh, Tuhan, aku benci
ledakan-ledakan seperti ini.
"Aku benci aku, saat aku
membencimu. Aku benci aku, saat aku marah dan menitikan air mata dihadapanmu.
Aku benci aku, saat aku tak bisa tidur lalu mengutukimu. Aku benci aku, saat
rindu dan muak sama-sama sedang meledak-ledak (padamu). Aku benci aku, saat aku
lebih memilih acuh daripada mempedulikanmu. Aku benci aku, saat kamu tersenyum
dan bahagia tapi bukan karena aku. Aku benci aku, saat aku tidak menjadi
aku."
Senja semakin tua. Langit memerah
dan sedikit pekat. Sepoi angin mulai terasa dingin. Seolah-olah akan ada kehampaan
yang siap meremukanku. Lagi, aku benci perasaan seperti ini. Aku tidak suka.
“Jangan melamun aja mbak, nanti
kesambet”
Tetiba suara seorang lelaki
separuh baya memecahkan keheninganku. Yang sudah aku sadari propesinya adalah
tukang sapu di tempat ini. Dan, tak jarang juga aku melihatnya tiap kali aku
berada di sini. Sesekali aku berbincang-bincang ringan dengannya. Bapak tukang
sapu tersebut memang sangat bersahaja, gaul juga friendly. Aku bahagia bisa mengenalnya.
“Lagi galau ya, mbak?”
“Hehe, engga bapak. Saya
baik-baik aja kok..”
“Lagi ngelamunin apa emangnya,
mbak? Pasti pacarnya, ya?”
“Haha..”
Aku cekikikan mendengar
pertanyaannya, bukan maksud mengabaikan pertanyaan yang diajukannnya, hanya
saja aku bingung harus menjawab bagaimana.
“Saya pulang dulu ya bapak, mau
mandi biar seger. Buat bapak, selamat menyapu saja. Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam.. Hati-hati
dijalan ya, mbak..”
“ Oke, bapak..”
Sepanjang perjalanan pulang,
perutku sesekali berdendang. Fix, aku lapar. Sesampainya di kamar, aku
merebahkan diri sejenak. Selepasnya, menuju kamar mandi. Hampir sejam aku
berada di kamar mandi. Selepas mandi, aku mengecek ponselku, tercatat ada
beberapa panggilan masuk dan beberapa pesan singkat: darimu, salah satunya.
Duh!
Aku malas membalasnya, mungkin aku
(memang) sedang menjadi wanita keji. Maaf, semoga kamu mengerti.
Aku kembali merebahkan diri.
Televisi menyala. Duh, kepalaku tersaa berat sekali Banyak pekerjaan kuliahku
yang masih berantakan. Tuhan, aku kacau sekali. Tetiba, ponselku bergetar. 1
pesan diterima. Dari Wirda, yang
mengabarkan asrama yang ingin aku tempati dalam beberapa bulan ke depan sudah
full kapasitas. Aku agak sedikit kecewa, memang.
“Barangkali, Tuhan masih memerlukan
aku untuk membantumu menyembuhkan luka. Hanya saja, bagaimana bisa aku membantumu
menyembuhkan luka bila lukaku saja belum sembuh benar. Nah, lagi-lagi aku
menyiksa diri sendiri. Duh, Tuhan..”
Perutku terasa terlilit. Aku
lapar parah. Hpku bergetar, lagi. Darimu. Kamu menawariku untuk makan bersama
di sebuah warung makan penyetan. Malas sebenarnya bertemu denganmu, aku takut tidak
menjadi aku (lagi) saat dihadapanmu. Kamu capek dengan aku yang akhir-akhir
ini suka marah-marah, aku juga sama. Aku capek dengan aku yang marah-marah, aku
benci.
Bersambung…
Jogja, 26 Maret 2014
Rss
Google+
Facebook
Twitter