Pagi yang gelap jatuh diluar. Suara para muadzin
terdengar dari toa-toa masjid yang berdiri disegala penjuru. Aku membuka
mataku. Dan, baru saja aku memimpikanmu. Semoga kau pun begitu. Kita
saling berkirim rindu. Kita saling melebur rindu. Lagi-lagi, selamat menabung
rindu.
Pagi jatuh diluar, dan masih gelap. Dengan rindu yang masih
bertumpuk-tumpuk, kutuliskan surat sederhana untuk engkau yang tak pernah gagal
melumpuhkanku.
Dear, Casanova..
Engkau meniadakanku
lewat dingin yang parah.
Engkau meniadakanku
lewat sajak-sajak yang tak lagi engkau suratkan untukku.
Kau tampar aku dengan
ketidakpercayaanmu.
Kau kutuk kejujuranku.
Engkau meniadakanku!
Aku meniadakanku:
Engkau berang, engkau menangis. Kembali, aku ambruk dalam pangkuanmu.
Dan, engkau kembali
meniadakanku lewat sajak-sajak bengismu.
Dan, engkau kembali
meniadakanku lewat dingin yang parah.
Dan, engkau kembali
meniadakanku lewat sajak-sajak puitis yang tak lagi engkau suratkan untuk
aku.
Aku mencintaimu, kau
mencintaiku. Namun, kau meniadakanku.
Dan ini: Terimalah
sakitku, terimalah ketidakteraturanku, terimalah kehancuranku, terimalah
ketiadaanku.
Engkau telah
meniadakanku. Dan engkau bersorak atas kemenanganmu.
Dariku,
Pagi masih bernafas, masih gelap, masih dengan rindu yang
bertumpuk-tumpuk, dan mulai menghadirkan aroma-aroma menyendukan.
Barangkali, engkau memang telah meniadakanku dari deretan
puisi-puisi yang tidak lagi engkau pajang pada dinding-dinding putih Firdaus.
Barangkali, engkau memang telah meniadakanku dari serangkaian doa-doa
panjang yang tidak lagi engkau ajukan pada Tuhan. Aku mencintaimu, kau
mencintaiku. Namun kau meniadakanku.
Rumpun Kelapa,
segenggam cinta yang kau anggap tak tepat
Rss
Google+
Facebook
Twitter