Langit jingga mengemas jatuh dihamparan danau tenang itu, senja yang selalu nampak indah dimataku. Daun-daun hijau menari lirih dimainkan sepoi angin yang tak pernah gagal memberi kesegaran. Waktu senja dengan keeksotisan panorama tenggelamnya mentari diujung danau, merupakan waktu yang selalu dirindukan bagi jiwa-jiwa kesepian: seperti aku.
Bagaimana mungkin aku bisa tertawa bahagia, sedangakan dihati ini ada sesak yang begitu meremas. Aku rindu padanya. Aku rindu sahabatku itu.
"Kita, dua sahabat, dekat bagai sodara, tak rela bila ada salah satu dari kita ada yang terluka. Kita ada, tentu sudah ditakdirkan Tuhan, sebagai sepasang sahabat yang saling menyempurnakan. "
Tapi, kini dia menghilang. Aku dan dia berjauhan. Ya Tuhan, aku sungguh merindukan dia, Tuhan.
Masih melekat dalam ingatan, kita yang yang tak pernah bosan melintasi malam walau dengan uang disaku yang pas-pasan. Kita yang tak pernah bosan menghabiskan waktu malam untuk sekedar bermain poker, bernyanyi, mengintip sang pujaan lewat dunia maya di limuny, atau sekedar makan nasi kucing di pinggir jalan, dan masih banyak yang lainnya tak yang bisa ku sebutkan.
Baginya, buku adalah hal yang paling diutamakan, persetan dengan makan, yang penting buku baru ada ditangan. Untuk hal yang satu itu, aku tak ada alasan untuk tak kagum padanya. Entah sudah ada berapa malam, pagi, siang, juga senja, yang telah aku habiskan bersamanya. Dia, sahabatku yang sederhana dengan kemampuan luar biasa. Dalam hal apa saja.
Aku rindu padanya. Aku rindu sahabatku itu. Entah dosa apa yang telah aku perbuat, hingga Tuhan tega menghukumku dengan membuatnya beku. Yaa, sahabatku itu tak lagi sehangat dulu, senyumnya tak lagi seceria dulu, sapanya tak lagi sesumringah dulu. Dingin, kita jadi begitu dingin. Ya Tuhan, dosa apa aku ini? Aku mohon kembalikan sahabatku itu. Tolong jangan hukum aku seperti ini, Tuhan.
Panorama tenggelamnya mentari diujung danau tak lagi nampak, hanya rona kemasan yang menyisa. Kawanan burung-burung mungil bagai selendang sutra berterbangan menyentuh pipi awan mengemas. Danau yang selalu tenang dengan diamnya, dan sepoi angin lagi-lagi tak pernah gagal memberi kesegaran. Memang, waktu senja, merupakan waktu yang selalu dirindukan bagi jiwa-jiwa kesepian seperti aku ini.
Pada desah angin yang berbisik mesra diseluruh tubuh ini, aku titipkan rindu seluas danau yang terhampar dihadapan tubuh letihku. Untuknya, sahabat karibku.
“Hai sahabatku, sampai detik waktu melapuk, aku tak akan pernah mampu melepas apa-apa yang pernah aku lewati bersamamu, sahabat karibku.”
# Tulisan ini aku buat di waktu hari sudah beranjak senja, tepatnya pada tanggal 13 Desember 2012,di Jogja tentunya. Berarti sekitar 6 hari yang lalu. Aku menulis ini dengan perasaan kacau balau. Hidup ini sebenarnya terlalu indah bila hanya dihabiskan untuk menggalau, tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi sering menggalau atas sesuatu yang masih nampak abstrak. Kalau sudah seperti ini aku merasa hidup sendiri. Dan lagi-lagi aku teringat kamu, kawan. Aku merindukanmu, aku merindukan kehangatan percakapan kita.Kawan, Pliss, lihatlah aku.
Rss
Google+
Facebook
Twitter