Disini,
di rumpun kelapa, pagi ternyata tetap sama seperti di Jogja. Pagi yang murung.
Khususnya hari ini. Aku menyetel televisi, lagi-lagi tak ada acara menarik, aku
biarkan televisi itu tetap menyala tanpa tatapan mataku memandang ke arahnya.
Aku rebahan di atas busa, sudah beberapa hari ini aku merasa tak enak badan.
Aku lemas sekali, kepalaku terasa pening. Tiap kali kaki ini dipaksa melangkah,
mata ini terasa dipenuhi ratusan kunang-kunang. Sempurna sudah! Hati sakit.
Tubuh pun sakit. Duh Gusti…
Sudah
5 hari aku di tempat ini. Disini, di desaku, desa yang biasa aku menyebutnya
dengan desa rumpun kelapa sebab banyak sekali pohon kelapa di dalamnya. Aroma
rumpun kelapa sedikit berbeda, ada warna yang berubah, ada nuansa yang tak mudah
untuk diterjemahkan. Kenangan oh kenangan.
“
Nok, tirai jedelanya dibuka aja ya, biar sinar mataharinya masuk”
“
Biar gitu aja, Bu. Lebih adem kalau ditutup”
Kepalaku
makin pening. Makan tidak ada selera, tapi aku harus makan. Aku harus sembuh!
Aku tak mau terlihat kurus kering sa’at kembali ke Jogja. Aku memaksakan diri
memakan semangkuk sop ayam beserta sepiring nasi. Aihh.. Serasa ada getir yang
begitu mencekik.
“
Nok, jangan lupa obatnya diminum”
“
Iya, Bu..”
Batinku
bergemuruh. Berteriak bungkam.
“Minum
obat? Ah! Malas sekali rasanya minum obat. Apalah arti sebuah obat kalau pada
akhirnya tak mampu menyembuhkan. Apa butir-butir obat itu mampu melenyapkan
sakit pada hatiku? Aku rasa tidak. Lalu, untuk apa aku minum obat kalau pada
akhirnya aku tetap sakit? Percuma! “
Akhirnya
aku putuskan untuk membuang obat-obat tak penting itu ke kolong ranjang.
“Obatnya
udah diminum, nok?”
“Udah,
Bu.. “
Bohong
lagi. Ah, biarlah. Ma’afkan aku ya, ibu. Kulirik jam di dinding, Jarum jam
menunjuk ke angka 9. Siang mulai terbit merontokan pagi. Ya Tuhan, masih saja
murung tak mau lekas-lekas beranjak.
***
“Hai,
apa kabar?”
“
Buruk! “
Bummmb!
Seperti ada letupan besar disini. Di hatiku. Pikirranku menerawang jauh.
Menafsirkan bahasa-bahasa yang kabur.
“
Kenapa kita harus terjatuh dalam dekap waktu yang sama? Apakah sakit yang kita
rasa pun merupakan sakit yang sama?”
Hei,
aku mengkhawatirkanmu. Kau tau? Ah, sepertinya kau belum tau. Baiklah aku kasih
tau. Sudah beberapa hari ini aku mulai bisa lepas darimu. Berat, memang. Berat
sekali. Dan tentu saja itu sangat melumpuhkan. Tapi mungkin ini yang terbaik,
bukan begitu? Aku merasa kau tak lagi mencintaiku. Mungkin kau memang tak
pernah mencintaiku. Dan keputusan ini sepertinya cukup adil. Cukup bijaksana.
Walau sakitnya benar-benar menusuk, galaunya benar-benar mengakut. Mencoba
melepas untuk mendapatkan kebahagiaan. Ah sial! Bagaimana mungkin aku bisa
bahagia, kalau pada kenyatannya kebahagiaanku itu terlahir bila aku selalu ada
didekatmu. Duh Gusti..
“
kamu kenapa?”
“
Kamu sakit?”
Rentetan
pertanyaanku tak ada satupun di jawab olehnya.
“
Hei, aku mengkhawatirkanmu.”
Aku
mulai menerka-nerka. Apa kau sedang putus cinta? Mungkin benar, kau sedang
putus cinta. Itu terlihat dari tulisan-tulisan yang kau muat dijejaring social.
Tapi, putus cinta dari siapa? Kekasihmu? Aku lihat kau masih baik-baik saja
dengannya. Sumpah! Melihat keadaanmu, aku amat khawatir. Sebenarnya aku ingin
sekali menghiburmu. Tapi apalah daya, aku juga sedang sakit, aku sekarat. Kita sama-sama
sedang merasa sakit dan sekarat. Kita sama-sama sedang membutuhkan obat, entahlah obat yang
seperti apa.
“
Biarlah rasa ini tetap bersemayam dalam gelap. Sampai jiwa kita dengan ikhlas
mau menerima tentang apa yang kita rasa. Sampai kita berani melawan realita. Sampai
hari itu tiba, semoga masih ada rasa yang sama. Rasa cinta. “
Rumpun
Kelapa, 24 Maret 2013
Rss
Google+
Facebook
Twitter