Malam
dalam hujan yang menderas. Ia memakai pakaian yang sudah lusuh. Ia kuyup. Aihh,
Wanita yang malang. Kalau aku taksir-taksir, usianya mungkin seusia ibuku, hanya
saja ia sedikit lebih muda. Entah sedang apa dia di
kota yang lebih nampak seperti
kota mati ini. Sunyi juga sepi. Dengan tertatih-tatih ia melangkah menyusuri
tanah-tanah becek. Dedaunan memandang nanar, pohon-pohon memandang penuh
keangkuhan, bunga-bunga memandang penuh selidik. Dan aku, memandang penuh tanda
Tanya. Wanita malang itu melangkah ke arahku yang sedang berteduh di sebuah
gubuk rapuh dengan dikawani beberapa orang lainnya yang juga turut berteduh. Ia
menempatkan diri tepat di sampingku. Wajahnya nampak pucat, matanya nampak
sayu, rambutnya juga nampak kusut. Benar-benar wanita yang malang. Aku iba
melihatnya.
“
Ibu, darimana? kok sendirian?”
Ia
seperti terkaget-kaget mendengar pertanyaanku. Matanya memandang ke arahku
penuh kesenduan. Ia tak menjawab, hanya menebar senyum penuh makna namun sulit
ditafsirkan. Nyaliku menciut tak berani lagi untuk bertanya. Mungkin ia sedang
kelelahan.
“
Nduk, kamu sudah punya pacar? Apa malah sudah menikah”
Ucapnya
lirih. Aku mengeryitkan alis mataku. Bagi orang yang belum saling kenal, aku
cukup kaget juga mendengarnya langsung menanyakan hal yang sudah menjurus ke
ranah pribadiku. Tapi, aku juga cukup lega, setidaknya ia sudah menganggapku
ada.
“ Saya belum punya pacar, bu, apalagi menikah”
“
Gadis seumuruan kamu kenapa belum punya pacar?”
Aku
kembali mengernyitkan alis mataku. Pikiranku
mulai berjelajah liar, menterjemahkan maksud pertanyaan-pertanyaannya.
Bahasanya kabur, terlalu rumit untuk aku terjemahkan. Mengabu-abu. Lalu, Ia
kembali berbicara.
“
Nduk, sebagai wanita, kamu kudu menjadi wanita yang kuat. Wanita yang
berprinsip. Kamu harus berani mengambil langkah, memutuskan pilihan walau itu
pahit sekalipun”
Ia
berhenti sejenak, menghela nafas. Aku mulai menikmati pembicaraannya, walaupun
aku belum bisa menafsirkan tujuan dia menanyakan dan membicarakan hal-hal
tersebut kepadaku. Kesimpulan awal: mungkin ia hanya ingin mengajakku mengobrol
sambari menunggu hujan reda. Kesimpulan kedua: mungkin dia seorang wartawan
yang sedang membuat tulisan tentang kehidupan gadis remaja dijaman edan
sekarang ini. Dua kesimpulan yang sudah aku paparkan itu masih besifat
kemungkinan, belum valid kebenarnnya. Berarti ini kembali ke pemikiran semula:
mengabu-abu. Belum sempat aku menanggapi, ia kembali melanjutkan ucapannya.
“
Dulu, saya kurang tegas dalam mengambil keputusan, saya terlalu takut untuk
memilih. Sampai pada akhirnya saya pun masih sendiri sampai detik ini”
Nada
bicaranya sedikit bergetar, ia menitikan air mata.
“
Ibu, belum menikah?”
“
Awalnya, dulu waktu saya seusia kamu, mungkin saya terlalu menikmati berpacaran
dengan banyak pria. Saya tak mau melepas mereka, mereka terlalu berharga untuk
saya lepas. Sampai akhirnya, saya memilih untuk mempertahankan semua pria yang
saya pacari. Saya tak mau terikat dengan sebuah ikatan pernikahan. Saya
benar-benar menikmati itu, nduk. Tapi sekarang malah, itu malah seperti jadi
kutukan buat saya sendiri. Saya…”
Bicaranya
terhenti. Ia kembali menghela nafas, lalu menyeka air matanya yang mulai
menderas. Kesimpulan ketiga: mungkin ia hanya ingin membagi pengalaman
berpacaran dengan banyak pria. Masih kemungkinan,
tentu saja belum valid kebenarannya. Kembali mengabu-abu. Sampai disini, aku
tak cukup punya kemampuan untuk mengeluarkan suara. Aku hanya mendengarkan
dengan antusias. Jujur, aku sedikit bingung juga mau berpendapat bagaimana
mengenai apa yang dia bicarakan .
“
Hujan sudah reda, nduk. Saya pergi duluan ya.. “
“Oh,
iyaiya, monggo, monggo.. “
Hah?
udah? gitu aja? Tujuannya apa coba? Seperti ada kejanggalan. Ahh, iya, dia tadi
belum menyelesaikan endingnya. Ah! Sial. Aku malah dibuat penasaran olehnya.
Kalau begini ceritanya, lagi-lagi aku harus menemukan kesimpulan-kesimpulannya
sendiri, yang tentu saja belum valid kebenarnnya. Nyesek itu adalah
mencari-cari jawaban dimana kebenarnnya masih tersamarkan.
Hujan
reda. Pikirinku masih dipenuhi tanda Tanya. Berkerumun menusuk-knusuk otakku.
Seperti ada kebakaran-kebakaran kecil yang pada akhirnya menjadi bara di
otakku. Aku melangkah pulang.
***
Sepertiga
malam yang mistis. Aku belum bisa tidur. Sudah menjadi kebiasaanku susah tidur,
dan itu sudah berlangsung berbulan-bulan. Kali ini, ada tanya yang membuatku
tertarik untuk menelusuri jawabannya. Tentang wanita malang yang aku jumpai digubuk
rapuh sa’at hujan tadi, yang ditaksir-taksir, usianya mungkin seusia ibuku, hanya
saja ia sedikit lebih muda.
“
Kenapa ia menitikan air mata sa’at bercerita? kenapa ada getar ditiap-tiap nada
yang ia suarakan? Kenapa roman-roman kegetiran nampak terasa sekali di
tiap-tiap gerakan kecilnya? Kenapa ia begini? kenapa ia begitu? kenapa ia
seperti ini? kenapa ia seperti itu? Kenapa jadi banyak sekali tanya di otakku
tentang wanita yang seusia ibuku hanya saja sedikit lebih muda itu? Ahh! ”
Mistis
disepertiga malam yang semakin kental. Aku tinggalkan tanya-tanya di otakku
tentang wanita tadi. Semakin memikirkan, kepalaku semakin pening. Sumpah! Itu
tak mengenakan. Ah! Apa seh hal yang mengenakan buatku, apa-apa selalu gak
enak. Ini gak enak, itu gak enak. Begitu susahkah jadi diriku sendiri? Aku
sendiri tak mampu menjawabnya. Aneh? Yaa, aku memang aneh. Aku akui itu.
***
“
Hei, lagi dimana?”
“
Di starbucks, kenapa?“
“
gapapa..”
Ya
Tuhan, aku rindu padanya. Tuhan, untuk mengadukan rindu padanya saja aku tak
berani, bagaimana ini? Aku sakaw, Tuhan. Aku tau, aku yang sudah memprovokasi
dirinya untuk berani mengambil keputusan dalam hal perasaan. Entahlah, aku
kerap kali sakit karena dia, itu karena dia terlalu baik pada setiap wanita.
Dia terlalu menebar pesona pada setiap wanita. Iya, aku tau, aku bukanlah
siapa-siapa bagi dirinya, aku tak punya hak apa-apa untuk mengatur-nagtur
hidupnya. Tapi, aku mencintainya. Aku peduli padanya. Bukankah kecemburuan ini
wajar adanya bila aku memergoknya dekat dengan beberapa wanita? Iya, aku mencoba
tau diri, aku bukanlah siapa-siapa bagi dirinya. Tapi, aku dan dia cukup sering
menghabiskan malam berdua? Apa itu tak cukup untuk membuktikan padanya betapa
besar rasa ini aku persembahkan untuknya? Tak ada lelaki manapun yang mampu
membuatku bertekuk lutut selain dirinya. Tak ada lelaki manapun yang mampu
membuatku rela menghabiskan malam sampai pagi tiba selain dirinya. Tak ada
lelaki manapun yang mampu membuatku mau menyerahkan bibirku selain dirinya.
Untuk sa’at ini, Dirinya, hanya dirinya yang mampu meluluhkanku. Hanya dirinya
yang ada dihatiku. Wajarkan kalau aku cemburu? Lalu, apakah kira-kira permintaanku
cukup adil dan bijaksana bila memaksanya untuk menentukan pilihan? Untuk berani
mengambil keputusan?
Tuhan,
aku sedih. Aku sakit. Aku sekarat Sepertinya dia serius. Dia tak main-main dalam
menjauhiku. Apa itu jawaban dia dari permintaanku, Tuhan? Apa di hatinya, tak
ada rasa sedikitpun untukku? Apa ini yang disebut cinta bertepuk sebelah
tangan? Aku merasa menyesal. Tapi, bisa apa aku? Aku sudah membuatnya melepaskan
diri, tentu saja dariku. Yaa, aku pikir mungkin ini yang terbaik. Tapi, aku
sakit. Tapi, aku mencintainya. Kenapa aku jadi begitu plinplan? Ingin melepas,
tapi tak ingin kehilangan. Yaa, Tuhan..
“Dengan
susah payah aku menciptakan drama itu. Untuk mensukseskannya, aku harus menghadirkan tokoh-tokoh kuat dan menyakinkan.
Kau tau? semua itu aku lakukan agar aku bisa dengan bebas mencintaimu dalam
gelap. Tapi, kau malah memilih untuk berpaling, tak mempercayai, membenci,
pergi. Aku menyesali keadaan-keadaan yang kerap kali memusuhiku, tak mau
bersukutu denganku. Ah! mungkin memang aku yang salah karena aku kerap kali
berbohong tentang apa yang aku rasa. Ma’afkan aku..”
Dalam
menjalin sebuah hubungan antara pria dan wanita, apa orang-orang yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan itu cenderung membosankan, ya? Aku
setia, tapi pada akhirnya aku selalu disakiti, dikhianati, ditinggalkan,
diduakan. Bukankah kesetiaan itu mulia? Aku setia, tapi kenapa selalu sakit
yang aku terima. Apa ada yang salah dengan kesetiaanku? Apa karena aku terlalu
penakut? Lagi-lagi ada kerumunan tanya berhamburan di otakku. Aihh, betapa
tanya-tanya itu mampu menguras seluruh tenagaku, mampu mengurass hampir seluruh
waktuku.
Jogja, 29 Maret 2013
Rss
Google+
Facebook
Twitter