***
Kembali ke seseorang tadi, seseorang yang kini sedang tertidur lelap. Ya, aku mengenalnya sudah lama. Aku suka menulis, dan aku begitu tertarik dengan tulisan-tulisannya, tulisannya itu seperti bernyawa, penuh emosi. Sungguh! Tulisan-tulisannya begitu mengagumkan. Diam-diam aku belajar darinya, tulisan-tulisannya benar-benar menginspirasiku. Dalam hal tulis-menulis, dia adalah salah satu imam yang aku jadikan panutan. Aku mulai sering berinteraksi dengannya, dan sialnya aku mulai tergoda, aku mulai tertarik menjelajahi hatinya. Aihh.. kesialan yang menyenangkan, memang. Aku dan dia mulai sering berkirim pesan singkat. Dia tak jenuh-jenunya membalas pesan-pesan singkatku. Tentu saja itu membuatku senang bukan kepalang. Membuatku semakin tergoda untuk mengenalnya lebih dalam.
Senja yang syahdu. Dia mengirimku pesan singkat yang berisi menawarkan sebuah pertemuan. Membicarakan apa-apa yang belum terjelaskan, yang masih tersamarkan, yang masih mengabu-abu. Kita menyapakati malam nanti bertemu, tepatnya pukul 9 malam.
Malam yang menggairahkan. Aku mengenakan gaun merah. Aku berdandan natural. Lebih tepatnya mungkin tak berdandan. Pada dasarnya, aku memang tak terbiasa berdandan, karena aku memang tak bisa berdandan. Yaa, beginilah nasib gadis desa yang hijrah ke kota untuk mendapatkan gelar sarjana sastra, untuk mendapatkan pengakuan dari para sastrawan yang luar biasa. Kita membuat janji, kita saling sepakat, kita bertemu di jembatan yang berbingkai keromansaan malam dan di payungi cahaya bulan.
“ mau kemana kita?”
“Pantai?”
“baiklah”
Kereta hitam meluncur. Jarak yang terbentang tak lagi jadi hambatan. Kereta hitam terus saja melaju cukup kencang. Pohon-pohon angkuh menatap penuh selidik, rumah yang payah memilih untuk bungkam. Kita acuh, kita mengabaikan, kita tak menghiraukan. Aroma ombak mulai tercium. Akhirnya sampailah kita di pantai. Debur ombak dan desir angin bergemuruh membuat simfoni syahdu. Semakin meromansakan waktu. Kita berdua duduk di atas pasir hitam. Bintang-bintang di langit melirik genit. Bulan tersenyum teduh. Dia menggenggam tanganku, sesekali memainkan jari-jemariku. Ya Tuhan, aku seperti melihat bunga-bunga dari firdaus berhamburan menghujani tubuhku juga dia, menghujani seisi pantai. Ada degup jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku deg-degan. Kencang sekali. Semoga jantungku tak sampai pecah dibuatnya.
“ Aku sayang padamu”
“ Aku juga”
“ Bagaimana kalau kita pacaran saja?”
“ Kamu yakin?”
“ kita coba”
“ Baiklah”
Tak! Waktu terhenti.
***
“ hei, kamu gak tidur?” ucapnya sambil membelai pipiku.
Aku terbangun dari lamunanku. Aku tutup kembali album kenangan yang sudah entah berapa lama aku simpan yang lalu aku buka kembali ketika rindu menyerang.
“ngga ngantuk”
“ Ayolah, tidur sini”
“ engga ah. Ngamatin kamu yang lagi tidur itu lebih menyenangkan ketimbang aku ikut tertidur disamping kamu”
“Haha, lebay”
Kita berpelukan. Erat.
“ bagaimana pacarmu? Katanya mau serius sama dia, kenapa masih aja ngedatangin aku?”
Dia hanya tersenyum lalu mencubit pipiku lembut. Untuk kasus yang satu ini, dia memang menyebalkan. Sangat menyebalkan!
“Aku pulang ya?”
“Kok pulang?”
“Senja semakin menua”
“ya sudah..”
Dia pulang dengan meninggalkan segumpal keabu-abuan, kegelisahan. Lagi-lagi seperti ini. Selalu seperti ini. Ah! Sial! Tolol! Kesialan yang tentu saja menyenangkan. Ketololan yang serasa enggan beranjak Ya Tuhan..
Rss
Google+
Facebook
Twitter