Kamar yang ringsek.
Bantal-bantal berhamburan, selimut tak terlipat, beberapa buku berserakan,
pakaian-pakian bersih diatas meja coklat hitam masih setia menunggu di setrika.
Lagu-lagu dewa mengalun. Ya Tuhan, betapa waktu begitu murung akhir-akhir ini. Pagi
tadi, aku dan Ine sebenarnya berencana
melakukan ritual baru, ritual yang sudah kami sepakati akan menjadi
rutinitas (sunah muakkad) bila liburan tiba: ritual joging di pagi buta. Sebab
kesiangan, ritual itu pun gugur.
Kamar masih Nampak berantakan.
Ine pergi dengan pacarnya. Dan, lagi-lagi aku seorang diri di kamar yamg
ringsek ini. Terkapar diatas kasur busa persegi panjang dengan dijubahi
kegetiran. Aku coba buka lembar demi lembar buku karya Puthut Ea. Setelah
membaca karya bang Puthut yang berjudul Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, aku jadi
begitu suka dengan tulisan-tulisan bang Puthut. Aku jadi terobsesi untuk terus
membaca karya-karya bang Puthut.
“Kamu dan Puthut itu
sama-sama melankolia. Kalian berdua memang cocok.” Celetuk Ine beberapa waktu
lalu.
Hujan datang tanpa duga.
Aku bergegas mengambil jemuran, aku bawa ke dalam kamar dan kulipat rapih, lalu
kutaruh diatas meja hitam bergabung dengan tumpukan-tumpukan baju bersih lainnya
yang mungkin sudah bosan menunggu untuk di setrika.
Sudah hampir seminggu
aku berada di tempat ini, tempat yang memiliki ukuran ruang 3x4, tempat yang
sebenarnya terlalu mungil untuk disinggahi oleh 2 orang dengan setumpuk
barang-barang juga puluhan buku-buku. Setidaknya tempat ini cukup nyaman dan
cukup bisa meleburkan kegelisan-kegelisanku untuk sa’at ini. Jujur, tempat ini
dulu, tepatnya semester 3 lalu jarang sekali aku sambangi. Tapi kini malah
menjadi tempat yang sering kusinggahi guna menyepi. Aku berterimaksih sekali
pada Ine, kawan karibku, karena sudah memperkenankan aku untuk tinggal beberapa
hari di kostnya. Kost ini, tempat yang memiliki ukuran 3x4 ini, cukup mujarab
melenyapkan kegelisahan-kegelisan juga rasa was-wasku yang kerap kali membuat
malam-malamku dihujani cucuran air mata yang berujung tidur tak lelap. Ditempat
ini aku sedikit mendapat hiburan juga ketenangan. Waktu memang berputar, dan kegelisahan tak selamanya bertahan.
***
Aku dan kegetiran, masih terkapar di kamar yang ringsek ini. Seorang diri. Malas membaca buku, selalu saja begitu. Aku lebih tertari membaca berbagai maca artikel di jejaring sosial melalui media hp, sesekali membuka blog juga fb. Disana, aku mendapatinya. Masih sama. Dia dan kekasihnya, juga segala kesombongannya. Ah! Aku muak! Aku mengumpat. Aku marah. Aku kecewa. Aku, aku, aku menitikan air mata.
Siang perlahan turun, senja perlahan merangkak naik, sinar jingga mengemas mulai berjatuhan dimana-mana. Aku sedang membaca Artikel-artikel, lalu membaca tulisan-tulisan di blog, setelah itu membaca sampah-sampah di facebook, kemudian kembali membaca artikel-artikel, tulisan-tulisan di blog, kembali lagi membaca sampah-sampah di facebook. Begitu terus sampai bosan. Sampai batre hp melemah.
“ Oke! Baiklah! Aku harus belajar lebih giat lagi. Aku ingin sukses menulis seperti halnya mereka-mereka itu. "
Kulirik hp hitam mungilku. 1 pesan diterima. Dari seorang pria sebrang.
“ Lagi dimana?”
“ di kost”
“aku kesitu ya?”
“oke”
Aku mulai kelimpungan, aku belum mandi sedari pagi, kamar masih berantakan, selimut belum sempat aku lipat. Pada akhirnya aku putuskan untuk membiarkan kekacauan ini begitu saja. Biarkan apa adanya. Aku malas. Aku memang sedang malas. Kulirik lagi hp hitam mungilku. 1 pesan diterima.
“aku sudah sampe”
“ Oke”
Beberapa menit kemudian. Dia, pria dari sebrang itu sudah ada adi depan pintu. Aku kikuk, bingung apa yang mesti dilakuin. Dia masuk. Dia masih seperti dulu: seksi dan menggoda. Mata kita saling beradu pandang, saling menebar senyuman, aliran darahku mengalir deras, jantungku berdegup kencang. Dan, tak! Waktu terhenti. Beberapa puluh menit kemudian dia beranjak pulang, tentu saja aku mempersilakan. Aku mengantarnya sampai pintu depan. Ah! Lagi-lagi aku diletakan dimana aku harus merasakan kesendirian.
Ine masih asik berpacaran dengan kekasihnya, entah mereka sedang melakukan kekonyolan apalagi diluar sana. Aku sendirian di kamar yang ringsek ini, di kamar yang murung ini. Senja semakin tua. Sial! Perasaanku mulai tak nyaman (lagi). Nafasku tak beraturan. Aku lemas. Aku was-was. Aku risau. Betapa waktu begitu mudah mengubah keadaan perasaan.
Padamu, aku susah untuk pergi. Padamu, aku susah untuk melupa. Padamu, aku susah untuk menjauh. Padamu, aku susah untuk lepas. Percayalah. Pernah aku mencoba untuk pergi, melupa, menjauh, lepas, juga membuat jarak. Sering, bahkan. Tapi pada akhirnya, semua itu hanya sia-sia. Aku jadi teringan dengan kalimat yang di tulis bang Puthut dalam novelnya yang berjudul Cinta Tak Pernah Tepat Waktu,
“ Mungkin memang ada, sesuatu yang akan datang, terjadi, hanya untuk sia-sia”
Entah apa yang kamu punya, hingga mampu membuatku lagi-lagi jatuh ke dalam pelukanmu yang mengabu-abu. Ah! Sial! Sial!. Aku benci kamu! Aku benci keberadaan kekasihmu! Aku benci mencintaimu! Mencintaimu itu, sungguh..
Ah! Sial! Kesialan yang menyenangkan.
Jogja, 10 Maret 2013
Jogja, 8 Maret 2013.
Rss
Google+
Facebook
Twitter