“Ini sudah malam, sayang. Ayo kita pulang?”
Sudah berjam-jam Alarico menghabiskan waktu di tepi pantai,
mendengar gemuruh ombak lautan yang bergulung-gulung. Di teguknya kaleng
berlabel coca colla dari tangan kanannya. Sedang tangan kirinya aku genggam, aku remas,
aku belai. Tak pernah kulepaskan. Beberapa hari ini, aku sering mendapatinya melamun, juga murung. Entah
apa yang ia pikirkan, entah apa yang ia risaukan, entah apa yang ia lamunkan.
Aku hanya merasa khawatir. Sering kali aku bertanya, dia hanya menjawab: Aku
tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Jujur saja, darahku kerap kali mendidih
mendengar jawabannya itu. Tapi, tiap kali aku diarahkan pada mata sayunya, aku
tak mampu berbuat apa-apa, amarahku meredam sebelum berkobar.
“Ini sudah malam, sayang. Ayo kita pulang? “
“ Hari ini, aku ingin menghabiskan malam disini. Aku ingin melihat sunrise. Kamu mau
menemani aku, kan?”
“ Baiklah, sayang..”
“ Dengarlah, betapa Kebesaran Tuhan begitu nyata. Dia mampu
mencitapkan keindahan-keindahan ini: Bintang, bulan, angin, laut, juga gemuruh
ombak yang menggulung.Bukankah ini keindahan yang seksi, Sayang?”
“ Tuhan memang selalu punya cara untuk menyadarkan hamba-Nya”
“ Araseli, Akhir-akhir ini aku mengalami hari-hari buruk,
mungkin untuk beberapa hari kedepan aku akan terlihat menyeramkan dan buas”
“ Alarico, Alarico..
Bila memang itu yang terjadi, maka biarlah aku yang akan menjinakkanmu”
Kami tertawa. Lalu, aku dipeluknya. Aku merasa damai,
tenang. Setidaknya dia tetap bisa membahagiakanku walau ada setumpuk kekacauan
sedang menyelimutinya. Aku heran, bagaimana bisa seorang Alarico yang
tampan dan hebat bisa jatuh pada seorang
gadis desa. Alarico yang malang. Berarti
benar tentang apa yang di tetapkan Tuhan, yaitu hal yang benar-benar mampu
melumpuhkan laki-laki adalah: harta, tahta, dan wanita. Terimakasih, Tuhan. Kau hadirkan Alarico untuk Araseli.
Jogja, 31 Maret 2013
Rss
Google+
Facebook
Twitter