“Sophie, bukankah kita sudah
sepakat, kita tak lagi membahas masalah ini”
“Ternyata ga segampang itu, Zie.
Aku butuh waktu banyak untuk memikirkan ini”
***
Siang di sekolah, tanpa sengaja
aku berpapasan dengan Ezie. Wajahku langsung pucat, malu, kikuk, bercampur jadi
satu. Ingin rasanya aku berlari, sembunyi, tapi keadaan terlanjur memaksaku
untuk berpapasan dengannya. Aku melempar senyum sekedarnya. Lalu kita pun
berlalu. Tanpa ada sapaan ataupun obrolan. Satu pesan diterima, dari Ezie.
"Tadi kau begitu mempesona.
Wajahmu, lekuk malu-malu kucing mu, senyum 5 jarimu, juga semua yang
ada pada dirimu.
Kau terlihat berbeda dari hari sebelumnya.
Kau tetap dan selalu menajdi gerimis malam yang romantis.
Tadinya aku ingin mengajakmu bicara.
Ya tentu saja hanya berdua.
Kau dan aku.
Berdua. :)
Membicarakan keluh kesah, membicarakan harapan, membicarakan warna
senja, dan yang pasti membicarakan kenapa Malam selalu bisa membuat kita merasa
bahagia.
Tak ada kebohongan yang setiap siang kita lontarkan.
Tak ada kemunafikan yang terendap dijiwa.
Hanya cinta yang sibuk mengelilingi kita.
Hanya rasa kasih yang siap untuk diterjemahkan
Namun tadi kau terlihat ingin menjauhiku.
Kau hanya tersenyum seadanya.
Memberiku was-was kalau-kalau kau ignin menjauhiku.
Jujur, itu sungguh membuatku tak nyaman!
Percayalah, sampai detik ini pun wajahmu tak pernah berhenti
mengacaukan hari-hariku. "
Dikeddua mataku, seakan-akan ada kaca-kaca pecah yang hampir tumpah menusuk bumi. Pesan darinya membuatku
semakin resah, tapi juga terharu bahagia.
” Oh Tuhan.. apa yang harus aku
lakukan? aku mencintainya, tapi Naya? Ah!”
Akal sehatku seperti sudah
diambang ketidakwajaran. Lagi, diam-diam aku dan Ezie mulai sering mencuri
waktu disela-sela kesibukan yang ada. Tentunya tanpa sepengetahuan Naya ataupun lainnya. Aku kirim
pesan singkat pada Ezie.
“ Rembulan anggun dimalam yang
bergaun mistis”
“ Angin mendesah, membisikan
bahwa kau merindukanku seperti halnya aku yang juga merindukanmu”
“Ayo kita bertemu”
“Harus! Besok pagi, deal?”
“ Oke, dimana?”
“Dimanapun asal bersamamu”
Pagi itu aku akan menemui Ezie,
setelah kami tak berjumpa hampir beberapa minggu, aku mengenakan gaun
hitam untuk menyambutnya ditepi jalan sempit disamping jembatan. Aku mulai
gerah karena Ezie tak kunjung datang jua, saat aku mulai lelah dan putus asa, lamat-lamat
terdengar detak langkah. Aku menoleh ke
belakang, ada rekahan senyum mentari dari bibir seorang seniman, seniamnku.
“ Hei, kamu telat lama sekali,
kamu harus dihukum”
“ Ma’af, sayang. Baiklah, aku
rela dihukum apapun”
Ingin aku mendekapnya saat itu
juga. Tapi aku tahan, aku malu kalau-kalau dilihat orang yang lalu lalang.
Akhirnya kita memlilih untuk pergi ke pantai. Mengurai rindu. Berdua. Sepanjang
jalan menuju pantai aku hanya diam, dia pun diam. Hingga akhirnya kita
tiba di pantai, suara debur ombak bergemuruh. Kita tak langsung menikmati
pantai, Ezie mengajakku ke sebuah tempat teduh yang berbingkai pepohonan hijau
nan rindang yang masih berada dikawasan pantai. Di tempat ini dimana kesalahan
tak lagi dipesoalkan, dimana kebohongan tak lagi dilontarkan. Yang ada hanya
kebahagiaan. Kita saling berpelukan. Berpelukan erat, sampai nafaspun terasa
sesak. Selepasnya, kita berduapun kembali ke aktivitas-aktivitas seperti biasanya.
***
Bersambung
Rss
Google+
Facebook
Twitter